Minggu, 30 Januari 2011

PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN IDEAL BERKONSEP HUNIAN BERIMBANG


Indonesia sebagai negara berkembang dengan kepadatan penduduk  yang selalu meningkat setiap tahun, pemenuhan kebutuhan akan perumahan mengalami peningkatan. Kesejangan sosial-ekonomi tetap menjadi isu sensitif di negeri ini, karena kesenjangan di masyarakat semakin tinggi terutama dalam hal pendapatan. Selain itu penyediaan lahan untuk perumahan semakin yang sulit didapat, membuat pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta sebagai pengembang dalam hal penyediaan fasilitas perumahan dan permukiman kota.
Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang). Permukiman adalah a place to live in yaitu suatu perumahan atau kelompok hunian yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan (UU No. 2 Th. 1992).
Salah satu kebijakan pembangunan permukiman diarahkan pada pengembangan permukiman berkonsep hunian berimbang yang dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan permukiman yang harmonis dan menghilangkan atau paling tidak mengurangi kesenjangan sosial yang cukup tinggi di masyarakat.
Permukiman berkonsep hunian berimbang adalah konsep pembangunan rumah 1:3:6 (satu rumah mewah, tiga rumah menengah, dan enam rumah sederhana dan rumah sangat sederhana) dalam permukiman skala besar dengan tujuan agar ada subsidi silang dalam pembangunan rumah mewah dan menengah untuk RS (rumah sederhana) atau RSS (rumah sangat sederhana). Selain itu, dengan konsep ini pengembang merencanakan area permukiman sedemikian rupa sehingga tercipta lingkungan masyarakat yang berintegrasi satu dengan lain dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Aim Abdurachim Idris, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Permukiman Depkimpraswil, konsep 1:3:6 dibuat berdasarkan karakter masyarakat Indonesia dilihat antara lain dari segi pendapatan dan distribusi penduduk.
Konsep 1:3:6 berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.4/KPTS/BKP4N/1995 tentang ketentuan lebih lanjut surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rayat Nomor 648-384 tahun 1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang.
Salah satu bab dari SKB ini menyebutkan perlunya mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman dengan lingkungan yang berimbang, meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah, atau dengan perbandingan tertentu sehingga dapat menampung secara serasi berbagai kelompok masyarakat. Hal ini diimplementasikan dalam perbandingan tertentu yaitu perbandingan jumlah RS atau RSS, menengah, dan mewah sebesar 6:3:1.
SKB tersebut tidak menyebutkan besaran maksimal harga jual rumah sederhana, tetapi hanya menyebutkan besaran kaveling. Rumah sederhana adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 54 m2 – 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas pemerintah kelas C yang berlaku. Rumah menengah adalah rumah yang dibangun di ata tanah dengan luas kaveling antara 200 m2  - 600 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 antara harga satuan per m2 tertinggi untuk embangunan perumahan dinas pemerintah kelas C sampai kelas A yang berlaku. Rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 600 m2 – 2000 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 di atas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas A yang berlaku.
Rumah sederhana dibangun terlebih dahulu, kemudian dibangun rumah mewah dan menengah. Pembangunannya wajib dilakukan dalam satu hamparan/ lokasi yang sama. Pengecualian jika rencana tata ruang yang berlaku untuk lokasi tersebut tidak memungkinkan, maka pembangunan rumah sederhana dapat dilakukan di lokasi yang berbeda, tetapi terletak dalam satu wilayah kabupaten.
Konsep hunian berimbang ini sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah tempat pengembangan tersebut dilakukan. Selain memberi ijin pembangunan perumahan, pemerintah daerah setempat juga harus mengontrol pelaksanaan pembangunannya. Jika memberi ijin pembangunan sebuah rumah mewah, harus dipikirkan dimana akan dibangun tiga rumah menengah, dan enam RS atau RSS-nya. Idealnya konsep hunian berimbang ini diterapkan bagi pengembang yang membangun minimal di lahan seluas 50 ha. Selain itu, untuk mengakomodir keperluan lahan bagi pembangunan rumah bagi masyarakat dari kelas yang berbeda-beda seharusnya diatur oleh pemerintah daerah dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
SKB tersebut menyebutkan untuk mencapai tujuan pembangunan perumahan dan permukiman yang serasi, diperlukan lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri atas berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan kegotongroyongan. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari terciptanya lingkungan perumahan dengan pengelompokkan hunian (eksklusif) yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial.
Hingga saat ini peraturan tersebut masih berlaku, tetapi implementasinya sangat lemah, area perumahan tipe mewah terpisah dengan area perumahan tipe menengah dan sederhana sehingga integrasi yang diharapkan antara penghuni perumahan tersebut tidak tercapai. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain pembangunan rumah-rumah mewah dan menengah terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan pembangunan RS atau RSS.
Konsep ini hanya diterapkan di kota yang harga lahannya masih rendah, karena harga jual di perkotaan sudah cukup tinggi, jika rumah sederhana digabungkan dalam satu area dengan tipe rumah menengah atau mewah maka nilai jual tipe RS atau RSS tidak akan terjangkau oleh masyarakat kecil. Konsep ini juga diterapkan oleh pengembang yang memiliki lahan di atas 1000 ha. Hal ini disebabkan kurangnya law enforcement, sanksi yang tegas, sehingga para pengembang cenderung menghindari pengembangan model ini. Kendala lainnya adalah perbedaan paradigma atau pola pikir dan persepsi antara pemerintah dan pengembang. Para pengembang seharusnya tidak hanya berorientasi bisnis semata, tetapi mengabaikan aspek sosial. Aspek bisnis dan sosial  perlu diseimbangkan meskipun tidak mudah untuk dilakukan.
Secara konsep, peraturan itu sangat bagus, terutama untuk mencegah disharmonisasi dan kesenjangan sosial di masyarakat, oleh karena itu konsep 1:3:6 harus di-refresh kembali, sehingga para pengembang perumahan bersedia menerapkan peraturan tersebut. Diperlukan juga beberapa penyesuaian peraturan yang berarti perlunya persamaan paradigma atau pola pikir dan persepsi di kalangan pemerintah dan pengembang dan perlu adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan konsep hunian berimbang untuk menuju ke perumahan dan permukiman ideal.
Menyangkut definisi rumah sederhana, menengah, dan mewah. Peraturan lama rumah sederhana diukur dari luas kaveling yaitu antara 54 m2 – 200 m2, definisi tersebut perlu diubah, karena terutama di kota-kota besar kurang cocok. Sebagai contoh, wilayah Jabodetabek luas kaveling rata-rata di atas 100 m2, apalagi di kompleks rumah menengah dan mewah. Definisi rumah sederhana lebih tepat menggunakan pendekatan harga, dan sebaiknya dibedakan untuk setiap wilayah perkembangan, dengan mengacu perkembangan harga tanah wilayah perkembangan tersebut.
Konsep 1:3:6 sebaiknya dibangun dalam kawasan yang sama karena selama ini ada pengembang yang membangun secara terpisah. Rumah mewah dan menengah dibangun di kawasan tersendiri sedangkan rumah sederhana dibangun di tempat lain. Pemisahan tersebut tentu saja tidak sesuai filosofi dasar konsep 1:3:6. Penyatuan rumah mewah-menengah-sederhana dalam satu kawasan justru bisa menciptakan harmoni dan relasi sosial yang baik, mereduksi eksklusivitas, serta bisa meredam potensi kerusuhan.
Perlunya penerapan reward and punishment (insentif dan sanksi hukum). Pengembang yang memberikan porsi lebih pada pembangunan rumah sederhana perlu diberi insentif, termasuk subsidi. Pengembang terpaksa harus berkorban terutama di kota-kota besar dan kawasan mahal, mereka membebaskan tanah dengan harga mahal, tetapi harus menjual dengan harga rumah sederhana yang murah. Di sinilah perlunya mekanisme insentif maupun subsidi sehingga pengembang tidak dirugikan, apalagi penyediaan rumah sederhana juga merupakan tanggung jawab pemerintah, oleh karena itu pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengalihkan tanggung jawab pembangunan rumah sederhana kepada pengembang yang berorientasi bisnis tanpa memperhitungkan nilai ekonomi kawasan.
Sanksi hukum juga harus diterapkan bagi pengembang yang melanggar peraturan. Otoritas eksekusi sanksi ini berada di tangan pemerintah daerah, karena merekalah yang memberi ijin pengembangan kawasan. Sanksi bisa berbentuk teguran yang kemudian ditindaklanjuti dengan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha.
Setiap kabupaten atau kotamadya diwajibkan untuk membuat tata ruang yang menerapkan adanya interaksi antara konsumen rendah, menengah, dan atas, sehingga konsumen akan lebih memilih rumah sederhana di perumahan yang menerapkan konsep 1:3:6 karena lingkungannya yang lebih baik.
Konsep hunian berimbang 1:3:6 seharusnya ditaati semua pengembang, karena merupakan wujud harmonisasi dan integrasi tata ruang kota. Suatu kompleks permukiman jangan sampai menjadi menara gading dan simbol hegemoni para penghuninya yang bisa memicu kecemburuan dan kerawanan sosial. Konsep hunian berimbang 1:3:6 tersebut merupakan bentuk interaksi sosial dan budaya di masyarakat sekaligus manifestasi asas keadilan di sektor perumahan.

DAFTAR PUSTAKA
Bintarto, R (1983). Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya, Galia Indonesia, Jakarta. 
Budiharjo, Eko (1987). Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Budiharjo, Eko (1992). Sejumlah Masalah Permukiman Kota, Penerbit Alumni, Bandung.
Budihardjo, Eko & Djoko Sujarto (1998). Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City), Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Frick, Heinnz (1984). Rumah Sederhana, Kebijaksaan Perencanaan, dan Kontruksi, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Warpani, Suwardjoko (1980). Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar